Sabtu, 25 Oktober 2008

Cerpen: Tuhan, beri kami hidup..

Jam menunjukkan waktu pukul sembilan tepat ketika bel rumah Raddy berbunyi. Dari dalam rumah, seorang wanita setengah baya membukakan pintu. Di depan, tampak seorang gadis manis tersenyum sopan padanya. Sang ibu langsung mengenalinya. Gadis itu adalah Salsa. Kekasih Raddy.

Ny.Darma tersenyum senang. Beliau mempersilahkan Salsa masuk. Salsa adalah perempuan pertama yang direstuinya untuk menjadi kekasih Raddy. Menurutnya, Salsa adalah gadis sederhana & bersahaja. Ia banyak memberikan pengaruh yang positif pada Raddy, putra bungsunya.

“Kalian sudah janjian? Raddy lagi ga ada di rumah, lho?” sahut beliau ramah.

“Saya tahu, Bu. Justru itu saya kesini. Saya mau bikin surpraise buat dia. Boleh ga, saya masak kue disini..?” jawab Salsa manis.

* * *

“Raddy itu sibuk banget ya, Bu?” Tanya Salsa seraya menghias cake ultah mungil dengan tulisan ‘Semoga panjang umur’.

“Iya.. begitulah. Ia ingin menikmati hidupnya. Ia lakukan semua hal yang ia ingin lakukan…”

Jawaban itu membuat Salsa sedikit heran. Tapi ia tidak berkomentar.

“Oya, Bu. Biasanya hari minggu pagi kaya gini, Raddy itu main di mana ya, sama temen-temennya..?” Sudah lama Salsa ingin menanyakan ini, karena selama dua bulan ia berpacaran dengan Raddy, ia tidak pernah bias menemui Raddy setiap Minggu pagi. Berbagai macam, alasannya. Kali ini, Raddy mengatakan bahwa ia akan ngumpul sama teman-temannya.

Ny. Darma menatap Salsa dengan bingung.

“Kamu tidak tahu Raddy kemana..?”

Salsa menggelengkan kepala pelan dengan sedikit bingung.

“Raddy tidak memberitahu kamu tentang keadaannya..?”

Salsa semakin bingung. Lalu ia mulai merasa cemas & khawatir. Walaupun untuk alas an yang belum ia ketahui.

Ny. Darma terdiam.

“Memangnya, Raddy kemana, Bu?”

Ny. Darma tidak langsung menjawab. Ia sepertinya agak ragu.

“Sebenarnya..tiap Minggu Raddy harus...” Ny. Darma menghela nafas berat. “…cuci darah. Ginjalnya hanya satu & semakin melemah. Usianya hanya sampai.. selama ia mampu cuci darah…” sahutnya pelan.

Suasana mendadak hening. Salsa shock. Ia terdiam, berusaha mencerna kalimat itu. Ia tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Seluruh tubuhnya lemas. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia lalu memandang hasil karya di hadapannya: ‘Semoga panjang umur’.

* * *

Salsa terdiam di jendela kamarnya, memandang matahari yang mulai terbenam. Air mata bergulir di pipinya yang halus. Tadinya ia pikir hari itu adalah hari yang bahagia. Karena ia akan membuat kejutan untuk Raddy. Tapi justru ia yang terkejut. Dan mendadak hari itu adalah hari yang paling kelabu baginya. Ia meninggalkan rumah Raddy tanpa sempat memberikan secara langsung kue itu padanya

.

Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Salsa menghapus air matanya.

“Vie.. Raddy dating, tuh!” teriak kakaknya dari luar pintu.

Salsa langsung keluar kamar & menuju ruang tamu. Disana, duduk seorang pemuda tampan, yang membuat orang lain iri betapa beruntungnya dia. Seseorang yang ia sayangi & membuat hidupnya berwarna. Seseorang yang telah menjadi belahan jiwanya walaupun usia pacaran mereka belum genap tiga bulan. Seseorang yang ingin ia lalui hidup bersamanya.

Raddy memakai jaket merah favoritnya. Matanya memandang kea rah Salsa. Mata itu.. Salsa tidak tahan melihatnya. Ia lalu mengajak Raddy berbicara di teras.

Tanpa diduga, malam itu mereka bertengkar.

“Memangnya kenapa kalau aku sakit..?!” ucap Raddy setengah berteriak. “Aku harus ngejauhin kamu? Gitu?! Kayak di film-film bioskop itu? Aku ga mau ngejauhin orang yang aku cintai Cuma gara-gara aku sakit!”

“Kamu ga ngerti, Raddy!” balas Salsa dengan mata yang mulai terasa panas.

“Aku Cuma pengen sisa hidupku bahagia. Dan itu cuma kalau aku sama kamu!”

Tangis Salsa pecah.

“Dengar Salsa. Aku ga peduli sama penyakit aku..!”

“Tapi aku peduli!” teriak Salsa. “Umur kamu gak lama lagi! Kamu bakalan ninggalin aku! Kamu gat au gimana rasanya..!”

“Umurku gak lama lagi..? Huh!” Raddy mencibir, “Siapa yang menjamin umur kamu bakal lebih panjang daripada aku..?”

Salsa memandang Raddy tajam.

“Yang namanya manusia itu semuanya bakalan mati! Emangnya kamu pengen aku hidup selamanya..? Gak mungkin, kan..?” sahut Raddy pedas.

Salsa tidak tahan lagi. Ia berlari meninggalkan Raddy, menuju kamarnya. Ia membanting pintu, berjalan kea rah tempat tidurnya, menenggelamkan dirinya dalam bantal & menangis hebat.

Diluar, Raddy terdiam menahan amarah. Sekaligus menahan sedih.

Keesokan harinya..

Raddy mendekati Salsa yang berdiri di pinggir jalan. Saat itu Salsa baru saja selesai kuliah.

“Vie, aku antar kamu pulang naik motor,” sahut Raddy datar.

“Gak perlu, Raddy. Kita udah putus,” sahut Salsa, berharap secepatnya mendapat angkutan umum. Kening Raddy berkerut.

“Alasannya..?”

“Lebih baik aku sedih sekarang. Aku berharap nanti aku gak akan terlalu sedih kalo kamu beneran ninggalin aku selamanya..!” Salsa berjalan menjauh. Raddy mengikutinya.

“Ini ga adil, Vie!”

Salsa berjalan semakin cepat. Ia tidak ingin berbicara lagi dengan Raddy. Hal itu akan membuat hatinya semakin sedih. Sejujurnya ia tidak ingin seperti ini. Ia masih mencintai Raddy.

“Aku mencintai kamu, Vie!” teriak Raddy.

Berharap ia mampu membuat Raddy diam, Salsa berbalik & berkata, “Aku gak mencintai kamu!”. Dilihatnya wajah Raddy. Tapi Raddy tidak menatapnya. Raddy justru melihat ke sebelah kiri Salsa. Salsa mengikuti arah pandang Raddy. Dari sebelah kiri, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Ia tidak bias menghindarkan diri. Ia masih bias mendengar teriakan Raddy menyebut namanya. Lalu semua menjadi gelap.

Di ruang ICU…

Raddy mendekati Salsa yang terbaring. Ia berusaha keras mengendalikan diri agar tidak menangis. Ia memandang wajah Salsa yang tertidur lelap, ditemani alat bantu pernafasan. Kondisinya masih kritis.

Teringat olehnya pertengkaran mereka tadi malam.

‘Umur kamu gak lama lagi! Kamu bakalan ninggalin aku! Kamu gat au gimana rasanya..!’

“Vie.. kini aku tahu rasanya. Aku khawatir. Aku cemas. Aku sedih. Aku takut. Aku takut kehilangan kamu.. Aku gak mau kamu meninggal di depanku.. Aku gak mau ditinggal mati, Vie..

Siapa yang menjamin umur kamu bakal lebih panjang daripada aku..?’ Kini Raddy benar-benar menyesal telah mengatakan itu. Ia mulai menangis.

‘Yang namanya manusia itu semuanya bakalan mati!’

Dadanya bergemuruh. Ia merasa hancur. Untuk pertama kalinya ia merasa betapa manusia amat lemah.

Malam itu Raddy berdoa. Doanya kali ini sangat khusyuk.

Lama.

Penuh kepasrahan.

Pada akhir doanya, ia bersujud & memohon,

“Ya Tuhan.. berikanlah kami hidup…”

Air matanya mengalir deras, tanpa suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar